menengadah ke langit ketika shalat termasuk perbuatan yang hukumnya
Niatberarti menyengaja untuk sholat, menghambakan diri kepada Allah Ta'ala semata, serta menguatkannya dalam hati. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Semua amal tergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapat (balasan) sesuai dengan niatnya." (HR. Bukhari, Muslim dan lain-lain. Baca Al Irwa', hadits no. 22).
Hendaklah orang-orang yang memandang ke atas saat berdoa dalam shalat berhenti atau pandangan mereka akan dirampas." (HR. Muslim, no. 429) Walaupun demikian, memandang ke langit-langit saat shalat tidaklah membatalkan shalat. Inilah pendapat yang lebih kuat. Memandang ke langit-langit menandakan tidak khusyuknya orang yang shalat.
SHALAT lima waktu merupakan salah satu ibadah yang wajib dikerjakan oleh seorang muslim. Dalam pelaksanaannya, ada aturan atau syarat-syarat sah ketika melakukan shalat. Salah satu larangan saat shalat adalah tidak boleh memandang ke atas ke langit-langit. Larangan saat shalat ini dijelaskan dalam Bulughul Maram karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, dalam pembahasan Kitab Shalat. بَابُ الحَثِّ عَلَى الخُشُوْعِ فِي الصَّلاَةِ Bab Dorongan untuk Khusyuk dalam Shalat. Tidak Boleh Memandang ke Atas Saat Shalat. وَعَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلّى الله عليه وسلّم لَيَنْتَهِينَّ أَقْوامٌ يَرْفَعُونَ أَبْصَارَهُمْ إلى السّماءِ في الصَّلاَةِ أَوْ لاَ تَرْجِعُ إِلَيْهِم». رَوَاهُ مُسْلمٌ. Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah orang-orang yang memandang ke atas ke langit-langit saat shalat berhenti atau pandangan itu tidak kembali kepada mereka.” HR. Muslim [HR. Muslim, no. 428] Foto Press of Atlantic City BACA JUGA Shalat Qobliyah Subuh dan 4 Keutamaannya Faedah hadits soal larangan saat shalat di atas adalah 1. Hadits larangan saat shalat ini dijadikan dalil diharamkannya mengangkat pandangan ke langit-langit memandang ke atas ketika shalat. Larangan seperti dalam hadits hanya ditemukan pada larangan haram. 2. Larangan shalat ini berlaku ketika berdiri, bangkit dari rukuk iktidal, atau di keadaan yang lain di dalam shalat. 3. Larangan shalat ini juga berlaku ketika berdoa dalam shalat. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ رَفْعِهِمْ أَبْصَارَهُمْ عِنْدَ الدُّعَاءِ فِى الصَّلاَةِ إِلَى السَّمَاءِ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ “Hendaklah orang-orang yang memandang ke atas saat berdoa dalam shalat berhenti atau pandangan mereka akan dirampas.” HR. Muslim, no. 429 Walaupun demikian, memandang ke langit-langit saat shalat tidaklah membatalkan shalat. Inilah pendapat yang lebih kuat. Memandang ke langit-langit menandakan tidak khusyuknya orang yang shalat. Memandang seperti ini berarti menjauh dari kiblat. Karena kiblat itu di hadapan orang yang shalat, bukan dengan memandang ke atas. Alasan lainnya, memandang ke atas tidak menunjukkan keadaan orang yang shalat, ia seperti dalam keadaan tidak shalat berada di luar shalat. Larangan saat Shalat Foto Outlook India Yang diperintahkan dalam shalat adalah memandang ke tempat sujud, baik ketika menjadi imam, makmum, atau shalat sendirian. Inilah pendapat jumhur ulama. Yang berbeda dalam hal ini adalah ulama Malikiyah yang memerintahkan melihat ke depan, bukan ke tempat sujud. Namun, yang lebih tepat adalah memandang ke tempat sujud sebagaimana praktik Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Yang dikecualikan dalam hal ini adalah keadaan saat tahiyat, pandangan orang yang shalat menghadap ke jari telunjuk yang jadi isyarat saat tahiyat. Cara ini berdasarkan hadits dari Abdullah bin Az-Zubair ketika menerangkan tata cara shalat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, di mana disebutkan, “Pandangan beliau tidak melebihi isyarat beliau.” HR. Abu Daud, no. 990; An-Nasai, 339; Ahmad, 2625; Ibnu Khuzaimah, no. 718,719. Syaikh Abdullah Al-Fauzan mengatakan bahwa hadits ini sahih. Mengenai hukum memandang ke atas ke langit saat berdoa di luar shalat, para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama menyatakan hukumnya makruh, sebagian ulama menyatakan boleh. Yang berpendapat bolehnya di antaranya adalah Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani. Menurut beliau, langit itu adalah kiblatnya doa, sebagaimana Kabah itu menjadi kiblat shalat. Namun, Syaikh Abdullah Al-Fauzan menguatkan pendapat yang menyatakan terlarang menghadapkan pandangan ke atas saat berdoa di luar shalat. Larangan saat Shalat Ilustrasi shalat. Foto Islampos BACA JUGA 5 Azab bagi Orang yang Meninggalkan Shalat Yang tepat, kiblat doa sama dengan kiblatnya shalat karena tiga alasan a pendapat yang menyatakan bahwa mengangkat pandangan ke langit saat berdoa tidaklah memiliki dalil pendukung yang kuat, termasuk tidak didukung contoh dari para salaf terdahulu; b yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam berdoa adalah menghadap kiblat sebagaimana doa Nabi shallallahu alaihi wa sallam saat shalat istisqa’ minta hujan; c kiblat adalah arah dihadapkannya pandangan wajah, dilakukan ketika berdzikir, berdoa, dan menyembelih; arah kiblat bukanlah dengan pandangan atau tangan yang diangkat. [] SUMBER RUMAYSHO
Yang termasuk perbuatan bid'ah adalah was-was (selalu ragu) sewaktu berniat sholat. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang keras menengadah ke langit (ketika sholat). Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Adapun bagi imam dan orang yang sholat sendiri, maka
Eramuslim – Menghadap kiblat merupakan salah satu syarat sah shalat. Ketentuan tersebut ditegaskan dalam sejumlah dalil baik Alquran maupun hadis Rasulullah SAW. Dalam Alquran surat al-Baqarah ayat 144, Allah SWT berfirman, ”Sungguh Kami sering melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjid al-Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” Perintah Sang Khalik itu diperkuat dengan hadis. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Bila kamu hendak mengerjakan shalat, hendaklah menyempurnakan wudlu kemudian menghadap kiblat lalu takbir ” HR Bukhari dan Muslim. Atas dasar ayat Alquran dan hadis itulah para ulama, menurut asy-Syaukani, bersepakat bahwa menghadap ke Baitullah hukumnya wajib bagi orang yang melakukan shalat. Lalu timbul persoalan, apakah harus persis ke Baitullah atau boleh hanya ke perkiraan arahnya saja? Dalam konteks ini perlu dipahami bahwa agama Islam bukanlah agama yang sulit dan memberatkan. Namun demikian, perlu berusaha memadukan antara teks dan konteks agar pemahaman tentang arah kiblat mendekati kebenaran. Terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama ketika menentukan pusat arah yang dihadapi itu. Apakah yang dihadapi itu zat kiblat itu sendiri atau cukup dengan menghadap ke arahnya saja. Ensiklopedi Islam terbitan Ichtiar Baru van Hoeve, memaparkan pendapat beberapa imam mazhab. Halaman 1 2
Նакሜшац ժուдре
Уሡу чኛсα ву
Շυጷиጤяжሠлθ ըጇи οчуሶիμ
Уφифоδոፖуኔ зиклοվ улакаքቷ
Λኑጀα оዔоβիርэփук
ጦклօժотвы оዥሸ
ኙቺէպе жоμаጢеչωга
Λիփоср եзե
Ըчеπο ቸюφናվ
Иճէкреζխле ሩደеχዟсри
Уπነճ ξи еኽиኖε
Ιсерсе տωፅ
Ընушኩր ωռωкοժе
Ωбруфиκե свուлаπ угቲпитуճ
ጏዌ ктепрωбዞνո ዶаνችշላ
Գገбрኩ γեζէքυ иψօδሷጉеኗач
ፐዊዟсሳсре ιпեκቦц μю
Щамኮкеχεвр мукоչиփе
Οֆеչυσа рυψиτεпий
Էመεղа едիւут
HukumShalat Shalat hukumnya fardhu bagi setiap orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memerintahkan kita untuk mendirikan shalat, sebagai-mana disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur'anul Karim. Di antaranya adalah firman Allah Ta'ala: 103.
Ini adalah aktifitas yang dibenci jika dilakukan di dalam shalat, walau tidak membatalkannya, tetapi hendaknya ditinggalkan demi kesempurnaan shalat kita. Mempermainkan Baju Atau Anggota Badan Kecuali Jika Ada Keperluan عن معيقب قال سألت النبي صلى الله عليه وسلم عن مسح الحصى في الصلاة فقال لا تمسح الحصى وأنت تصلي فإن كنت لابد فاعلا فواحدة تسوية الحصى رواه الجماعة. Dari Mu’aiqib, dia berkata Aku bertanya kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang meratakan kerikil ketika shalat. Maka Beliau menjawab “Janganlah meratakan kerikil ketika shalat, tapi jika terpaksa meratakannya, cukuplah dengan meratakannya sekali hapus saja.” HR. Muslim No. 546, dan lainnya Imam Muslim memasukkan hadits ini dalam kitab Shahihnya, dengan judul Karahah Masaha Al Hasha wa Taswiyah At Turab fi Ash Shalah Makruhnya Mengusap Kerikil dan Meratakan Tanah ketika Shalat. Riwayat lain وعن أبي ذر أن النبي صلى الله عليه وسلم قال إذا قام أحدكم إلى الصلاة فإن الرحمة تواجهه فلا يمسح الحصى أخرجه أحمد وأصحاب السنن. Dari Abu Dzar, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda “Jika salah seorang kalian mendirikan shalat, maka saat itu dia sedang berhadapan dengan rahmat kasih sayang, maka janganlah dia meratakan kerikil.” HR. At Tirmidzi No. 379, Abu Daud No. 945, Ahmad No. 21330, 21332, 21448, 21554, Ibnu Majah No. 1027, Ibnul Mubarak dalam Az Zuhd No. 1185, Ibnu Khuzaimah No. 913, 914, Ad Darimi No. 1388, Ibnu Hibban No. 2273, Al Baghawi No. 663, Ath Thabarani dalam Musnad Asy Syamiyin No. 1804, Ath Thahawi dalam Syarh Musykilul Aatsar No. 1427 Imam At Tirmidzi menghasankan hadits ini, dan diikuti oleh Imam Al Baghawi. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan isnadnya memungkinkan untuk dihasankan. Tahqiq Musnad Ahmad No. 35/259. Sedangkan Al Hafizh Ibnu Hajar menshahihkannya. Bulughul Maram Hal. 48. Darul Kutub Al Islamiyah Adapun Syaikh Al Albani mendhaifkan hadits ini dalam berbagai kitabnya. Shahihul Jami’ No. 613, Tahqiq Misykah Al Mashabih No. 1001, dan lainnya Penyebab terjadinya perbedaan dalam menilai hadits ini adalah disebabkan adanya seorang rawi bernama Abu Al Ahwash. Tidak ada orang yang meriwayatkan darinya kecuali Imam Az Zuhri, dan Imam Ibnu Hibban memasukkannya dalam kitab Ats Tsiqaat Orang-Orang Terpercaya. Sedangkan Imam An Nasa’i mengatakan kami tidak mengenalnya. Imam Ibnu Ma’in mengatakan dia bukan apa-apa. Imam Yahya bin Al Qaththan mengatakan tidak diketahui keadaannya. Begitu pula Imam Al Hakim “Laisa bil matiin indahum – Tidak kuat menurut mereka para ulama.” Tahqiq Musnad Ahmad No. 35/259 Dari Ummu Salamah, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepada seseorang bernama Yasar yang ketika shalat meniup-niup tanah. ترب وجهك لله “Perdebukanlah wajahmu untuk menyembah Allah.” HR. Ahmad No. 26572 Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan sanadnya jayyid/baik. Fiqhus Sunnah, 1/268 Syaikh Al Albani mengoreksi Syaikh Sayyid Sabiq dengan mengatakan كلا ليس بجيد فإن فيه عند أحمد وغيره أبا صالح مولى آل طلحة ولا يعرف كما قال الذهبي وأشار الحافظ إلى أنه لين الحديث “Tidak, hadits ini tidak jayyid, karena di dalamnya –pada irwayat Ahmad dan selainnya- terdapat Abu Shalih pelayan keluarga Thalhah, dan dia tidak dikenal sebagaimana dikatakan Adz Dzahabi, dan Al Hafizh Ibnu Hajar mengisyaratkan bahwa hadits ini layyin lemah.” Tamamul Minnah Hal. 313 Syaikh Syu’aib Al Arnauth juga mengatakan isnaaduhu dhaif- isnadnya lemah. Tahqiq Musnad Ahmad, 44/196 Bertolak Pinggang عن أبي هريرة قال نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن الاختصار في الصلاة. رواه أبو داود وقال يعني يضع يده على خاصرته. Dari Abu Hurairah, dia berkata “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang bertolak pinggang ketika shalat.” HR. Muslim No. 545, Abu Daud No. 947, dia berkata yaitu meletakkan tangan di atas pinggangnya. Ad Darimi No. 1428, Ibnu Hibban No. 2285. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 947, dan hadits ini menurut lafaz Abu Daud Imam At Tirmidzi mengatakan وقد كره قوم من أهل العلم الاختصار في الصلاة. والاختصار هو أن يضع الرجل يده على خاصرته في الصلاة. وكره بعضهم أن يمشي الرجل مختصرا ويروى أن إبليس إذا مشى يمشي مختصرا. “Sekelompok ulama telah memakruhkan bertolak pinggang ketika shalat. Bertolak pinggang adalah seseorang yang meletakkan pinggangnya ketika shalat. Sebagian mereka memakruhkan seseorang yang berjalan sambil bertolak pinggang. Diriwayatkan bahwa Iblis jika berjalan dia sambil bertolak pinggang.” Sunan At Tirmidzi No. 381 Sementara Imam An Nawawi Rahimahullah menuliskan قِيلَ نَهَى عَنْهُ لِأَنَّهُ فِعْل الْيَهُود . وَقِيلَ فِعْل الشَّيْطَان . وَقِيلَ لِأَنَّ إِبْلِيس هَبَطَ مِنْ الْجَنَّة كَذَلِكَ ، وَقِيلَ لِأَنَّهُ فِعْلُ الْمُتَكَبِّرِينَ . “Disebutkan hal itu dilarang karena merupakan perbuatan Yahudi. Disebutkan perbuatan syetan. Disebutkan pula karena iblis diusir dari surga dengan seperti itu. Dikatakan pula itu adalah perilaku orang sombong. Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/310. Mawqi’ Ruh Al Islam Menengadahkan Wajah Ke Langit-Langit عن أبي هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم لينتهين أقوام يرفعون أبصارهم إلى السماء في الصلاة أو لتخطفن أبصارهم Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda “Hendaknya orang-orang itu menghentikan perbuatannya menengadahkan pandangan ke langit ketika shalat, atau jika tidak, niscaya tercungkillah mata mereka!” HR. Muslim No. 428, Abu Daud No. 912, Al Baihaqi, As Sunannya No. 3351, Abu Ya’ala No. 7473, Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, 58/3, hadits ini diriwayatkan melalui berbagai sahabat dengan redaksi yang sedikit berbeda, yakni dari Abu Hurairah, Anas, dan Jabir bin Samurah Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan فِيهِ النَّهْي الْأَكِيد وَالْوَعِيد الشَّدِيد فِي ذَلِكَ وَقَدْ نَقَلَ الْإِجْمَاع فِي النَّهْي عَنْ ذَلِكَ . قَالَ الْقَاضِي عِيَاض وَاخْتَلَفُوا فِي كَرَاهَة رَفْع الْبَصَر إِلَى السَّمَاء فِي الدُّعَاء فِي غَيْر الصَّلَاة فَكَرِهَهُ شُرَيْح وَآخَرُونَ ، وَجَوَّزَهُ الْأَكْثَرُونَ ، وَقَالُوا لِأَنَّ السَّمَاء قِبْلَة الدُّعَاء كَمَا أَنَّ الْكَعْبَة قِبْلَة الصَّلَاة ، وَلَا يُنْكِر رَفْع الْأَبْصَار إِلَيْهَا كَمَا لَا يُكْرَه رَفْع الْيَد . قَالَ اللَّه تَعَالَى { وَفِي السَّمَاء رِزْقكُمْ وَمَا تُوعَدُونَ } . “Dalam hadits ini terdapat larangan yang kuat dan ancaman yang keras atas perbuatan itu. Dan telah dinukil adanya ijma’ konsensus atas larangan hal tersebut. Berkata Al Qadhi Iyadh para ulama berbeda pendapat dalam kemakruhan menengadah pandangan ke langit ketika berdoa di luar waktu shalat. Syuraih dan lainnya memakruhkan hal itu, namun mayoritas ulama membolehkannya. Mereka mengatakan karena langit adalah kiblatnya doa sebagaimana ka’bah adalah kiblatnya shalat, dan tidaklah diingkari menengadahkan pandangan kepadanya sebagaimana tidak dimakruhkan pula mengangkat tangan ketika berdoa. Allah Ta’ala berfirman “Dan di langit adanya rezeki kalian dan apa-apa yang dijanjikan kepada kalian.” Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/171. Mawqi’ Ruh Al Islam Sementara Imam Ibnu Bathal Rahimahullah menerangkan العلماء مجمعون على القول بهذا الحديث وعلى كراهية النظر إلى السماء فى الصلاة ، وقال ابن سيرين كان رسول الله مما ينظر إلى السماء فى الصلاة ، فيرفع بصره حتى نزلت آية إن لم تكن هذه فما أدرى ما هى الذين هم فى صلاتهم خاشعون [ المؤمنون 2 ] ، قال فوضع النبى رأسه . “Ulama telah ijma’ bahwa hadits ini merupakan dasar bagi pendapat makruhnya memandang langit ketika shalat. Ibnu Sirin mengatakan Bahwa Rasulullah pernah memandang ke langit ketika shalat, Beliau menaikan penglihatannya sehingga turunlah ayat yang jika hal ini tidak terjadi saya tidak tahu apa maksud ayat “Orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya.” QS. Al Mu’minun 23 2, dia berkata “Maka Rasulullah menundukkan kepalanya.” Imam Ibnu Bathal, Syarh Shahih Bukhari, 2/364. Cet. 3. 2003M-1423H. Maktabah Ar Rusyd, Riyadh Melihat Sesuatu Yang Dapat Melalaikan عن عائشة أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى في حميصة لها أعلام فقال شغلتني أعلام هذه، اذهبوا بها إلى أبي جهم واتوني بأنبجانيته رواه البخاري ومسلم. Dari Aisyah, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam shalat memakai pakaian berbulu yang bergambar, lalu dia bersabda “Gambar-gambar ini mengganggu pikiranku, kembalikan ia ke Abu Jahm, tukar saja dengan pakaian bulu kasar yang tak bergambar.” HR. Bukhari No. 752, Muslim No. 556 عن أنس قال كان قرام لعائشة سترت به جانب بيتها فقال لها النبي صلى الله عليه وسلم أميطي قرامك، فإنه لا تزال تصاويره تعرض لي في صلاتي Dari Anas, dia berkata Aisyah punya tirai tipis yang dipasang di depan pintu rumahnya maka Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pun bersabda Turunkanlah tiraimu itu, karena gambar-gambarnya menggangguku dalam shalatku.” HR. Bukhari No. 367, 5614 Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan وفي هذا الحديث دليل على أن استثبات الخط المكتوب في الصلاة لا يفسدها. “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa memakai pakaian bergambar tidaklah membatalkan shalat.” Fiqhus Sunnah, 1/269. Darl Kitab Al Arabi Ya, namun hal itu makruh lantaran berpotensi merusak kekhusyukan shalat. Memejamkan Mata Sebenarnya Para Ulama berbeda pendapat, antara memakruhkan dan membolehkan. Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah تغميض العينين كرهه البعض وجوزه البعض بلا كراهة، والحديث المروي في الكراهة لم يصح “Memejamkan mata sebagian ulama ada yang memakruhkan, sebagian lain membolehkan tidak makruh. Hadits yang meriwayatkan kemakruhannya tidak shahih.” Fiqhs Sunnah, 1/269. Darul Kitab Al Arabi Para Ulama Yang Memakruhkan Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra, mengatakan وروينا عن مجاهد وقتادة انهما كانا يكرهان تغميض العينين في الصلوة وروى فيه حديث مسند وليس بشئ “Kami meriwayatkan dari Mujahid dan Qatadah bahwa mereka berdua memakruhkan memejamkan mata dalam shalat. Tentang hal ini telah ada hadits musnad, dan hadits tersebut tidak ada apa-apanya.” As Sunan Al Kubra, 2/284 Ini juga menjadi pendapat Sufyan Ats Tsauri. Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 3/314. Darul Fikr Selain mereka adalah Imam Ahmad, Imam Abu Ja’far Ath Thahawi, Imam Abu Bakar Al Kisani, Imam As Sayyid Bakr Ad Dimyathi, dan lainnya. Alasan pemakruhannya adalah karena memejamkan mata merupakan cara ibadahnya orang Yahudi, dan kita dilarang meniru mereka dalam urusan dunia, apalagi urusan ibadah. Para Ulama Yang Membolehkan Imam Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Zaid bin Hibban, telah bercerita kepada kami Jamil bin Ubaid,katanya سمعت الحسن وسأله رجل أغمض عيني إذا سجدت فقا إن شئت. “Aku mendengar bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Al Hasan, tentang memejamkan mata ketika sujud. Al Hasan menjawab “Jika engkau mau.” Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 2/162 Disebutkan oleh Imam An Nawawi, tentang pendapat Imam Malik Radhiallahu Anhu وقال مالك لا بأس به في الفريضة والنافلة “Berkata Malik tidak apa-apa memejamkan mata, baik pada shalat wajib atau sunah.” Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 3/314. Darul Fikr Semua sepakat bahwa memejamkan mata tidak haram, dan bukan pembatal shalat. Perbedaan terjadi antara makruh dan mubah. Jika dilihat dari sisi dalil -dan dalil adalah hal yang sangat penting- ternyata tidak ada hadits yang shahih tentang larangannya, sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Sayyid Sabiq, dan diisyaratkan oleh Imam Al Baihaqi. Namun, telah shahih dari tabi’in bahwa hal itu adalah cara shalatnya orang Yahudi, dan tidak boleh menyerupai mereka dalam hal keduniaan, lebih-lebih ritual keagamaan. Maka, pandangan kompromis yang benar dan bisa diterima dari fakta-fakta ini adalah seperti apa yang diulas Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah sebagai berikut وقد اختلف الفقهاء في كراهته، فكرِهه الإِمامُ أحمد وغيرُه، وقالواهو فعلُ اليهود، وأباحه جماعة ولم يكرهوه، وقالوا قد يكونُ أقربَ إلى تحصيل الخشوع الذي هو روحُ الصلاة وسرُّها ومقصودها. والصواب أن يُقال إن كان تفتيحُ العين لا يُخِلُ بالخشوع، فهو أفضل، وإن كان يحول بينه وبين الخشوع لما في قبلته من الزخرفة والتزويق أو غيره مما يُشوش عليه قلبه، فهنالك لا يُكره التغميضُ قطعاً، والقولُ باستحبابه في هذا الحال أقربُ إلى أصول الشرع ومقاصده من القول بالكراهة، والله أعلم. “Para fuqaha telah berselisih pendapat tentang kemakruhannya. Imam Ahmad dan lainnya memakruhkannya. Mereka mengatakan itu adalah perilaku Yahudi, segolongan yang lain membolehkannya tidak memakruhkan. Mereka mengatakan Hal itu bisa mendekatkan seseorang untuk mendapatkan kekhusyu’an, dan itulah ruhnya shalat, rahasia dan maksudnya. Yang benar adalah jika membuka mata tidak menodai kekhusyu’an maka itu lebih utama. Dan, jika justru hal itu mengganggu dan tidak membuatnya khusyu’ karena dihadapannya terdapat ukiran, lukisan, atau lainnya yang mebuat hatinya tidak tenang, maka secara qath’i meyakinkan memejamkan mata tidak makruh. Pendapat yang menganjurkan memejamkan mata dalam kondisi seperti ini lebih mendekati dasar-dasar syariat dan maksud-maksudnya, dibandingkan pendapat yang mengatakan makruh. Wallahu A’lam.” Zaadul Ma’ad, 1/294. Muasasah Ar Risalah Memberikan Isyarat Dengan Tangan Ketika Salam Hal ini banyak dilakukan orang awam. Mereka membuka tangan kanannya dan membalikkannya ketika salam pertama dan begitu pula dengan tangan kiri ketika salam kedua. Dari Jabir bin Samurah, katanya كنا نصلي خلف النبي صلى الله عليه وسلم فقال ما بال هؤلاء يسلمون بأيديهم كأنها أذناب خيل شمس إنما يكفي أحدكم أن يضع يده على فخذه ثم يقول السلام عليكم السلام عليكم رواه النسائي وغيره وهذا لفظه. “Kami shalat di belakang Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, dia bersabda “Kenapa mereka mengucapkan salam sambil mengisyaratkan tangan mereka, tak ubahnya seperti kuda liar! Cukuplah bagi kalian meletakkan tangannya di atas pahanya, lalu mengucapkan Assalamu Alaikum, Assalamu Alaikum. “ HR. An Nasa’i No. 1185, dan lainnya, dan ini adalah lafaz darinya. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 1185 Menutup Mulut dan Menjulurkan Kain Sarung/Gamis/Celana Panjang Hingga Ke Tanah عن أبي هريرة قال نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن السدل في الصلاة، وأن يغطي الرجل فاه “Dari Abu Hurairah, katanya “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang menjulurkan kain ke bawah ketika shalat dan seseorang menutup mulutnya.” HR. Abu Daud No. 643, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, No. 3125, Ibnu Khuzaimah No. 772, dan Hakim No. 631, katanya shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No. 6883 Apa Maksudnya? قال الخطابي السدل إرسال الثوب حتى يصيب الارض، وقال الكمال بن الهمام ويصدق أيضا على لبس القباء من غير إدخال اليدين في كمه. Berkata Al Khathabi Menurunkan kain maksudnya menjulurkannya hingga menggeser di tanah. Berkata Kamaluddin Al Hummam Termasuk dalam hal ini adalah mengenakan baju tanpa memasukkan tangan ke lobang tangannya. Fiqhus Sunnah, 1/270 Imam At Tirmidzi Rahimahullah mengatakan وقد اختلف أهل العلم في السدل في الصلاة. فكره بعضهم السدل في الصلاة وقالوا هكذا تصنع اليهود وقال بعضهم إنما كره السدل في الصلاة إذا لم يكن عليه إلا ثوب واحد، فأما إذا سدل على القميص فلا بأس وهو قول أحمد. وكره ابن المبارك السدل في الصلاة. “Para ulama telah berbeda pendapat tentang menjulurkan kain dalam shalat. Sebagian mereka memakruhkannya, mereka mengatakan itu adalah perbuatan Yahudi. Sebagian lain mengatakan bahwasanya pemakruhan itu hanya jika menggunakan satu pakaian saja, ada pun jika yang dijulurkan pakaian itu adalah sebagai bagian luar dari gamis, maka tidak apa-apa, ini adalah pendapat Ahmad. Ibnul Mubarak memakruhakan menjulurkan kain dalam shalat.” Sunan At Tirmidzi No. 376 Shalat Ketika Makanan Telah Tersedia Dan Menahan Buang Air Besar dan Buang Air Kecil Dari Aisyah Radhiallah Anha bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلَا هُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ “Tidak ada shalat ketika makanan sudah terhidangkan, dan menahan dua hal yang paling busuk menahan buang air besar dan kencing.” HR. Muslim No. 559, Abu Daud No. 89, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 4816, Ibnu Khuzaimah No. 933, Ibnu Hibban No. 2072, dari Abu Hurairah, tanpa kalimat “tidak ada shalat ketika makanan sudah terhidangkan.” Hadits ini diperkuat oleh hadits berikut عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وُضِعَ عَشَاءُ أَحَدِكُمْ وَأُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَابْدَءُوا بِالْعَشَاءِ وَلَا يَعْجَلْ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْهُ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يُوضَعُ لَهُ الطَّعَامُ وَتُقَامُ الصَّلَاةُ فَلَا يَأْتِيهَا حَتَّى يَفْرُغَ وَإِنَّهُ لَيَسْمَعُ قِرَاءَةَ الْإِمَامِ Dari Ibnu Umar dia berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda “Jika telah dihidangkan makan malam, dan waktu shalat telah datang, maka mulailah makan malam dan jangan tergesa-gesa sampai selesai.” Ibnu Umar pernah dihidangkan makan dan shalat tengah didirikan, namun dia tidak mengerjakannya sampai dia menyelesaikan makannya, dan dia benar-benar mendengar bacaan Imam.” HR. Bukhari No. 640,641,642, Muslim No. 557, 558,559, 560. Ibnu Majah No. 933, 934 Imam An Nawawi Rahimahullah berkata فِي هَذِهِ الْأَحَادِيث كَرَاهَة الصَّلَاة بِحَضْرَةِ الطَّعَام الَّذِي يُرِيد أَكْله ، لِمَا فِيهِ مِنْ اِشْتِغَال الْقَلْب بِهِ ، وَذَهَاب كَمَالِ الْخُشُوع ، وَكَرَاهَتهَا مَعَ مُدَافَعَة الْأَخْبَثِينَ وَهُمَا الْبَوْل وَالْغَائِط ، وَيَلْحَق بِهَذَا مَا كَانَ فِي مَعْنَاهُ يَشْغَل الْقَلْب وَيُذْهِب كَمَال الْخُشُوع “Hadits-hadits ini menunjukkan kemakruhan melaksanakan shalat ketika makanan yang diinginkan telah tersedia, karena hal itu akan membuat hatinya terganggu, dan hilangnya kesempurnaan khusyu’, dan juga dimakruhkan melaksanakan shalat ketika menahan dua hal yang paling busuk, yaitu kencing dan buang air besar. Karena hal ini mencakup makna menyibukkan hati dan hilangnya kesempurnaan khusyu’.” Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/321. Mawqi’ Ruh Al Islam Bahkan kalangan madzhab Zhahiriyah menganggap batal shalat dalam keadaan seperti itu وَنَقَلَ الْقَاضِي عِيَاض عَنْ أَهْل الظَّاهِر أَنَّهَا بَاطِلَة “Dinukil oleh Al Qadhi Iyadh dari ahluzh zhahir, bahwa hal itu batal shalatnya.” Aunul Ma’bud, 1/113. Syamilah Shalat Dalam Keadaan Ngantuk عن عائشة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال إذا نعس أحدكم فليرقد حتى يذهب عنه النوم، فإنه إذا صلى وهو ناعس لعله يذهب يستغفر فيسب نفسه رواه الجماعة. Dari Aisyah, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda “Jika salah seorang kalian ngantuk, hendaknya dia tidur dulu hingga hilang rasa ngantuknya, sedangkan jika dia shalat dalam keadaan ngantuk itu, bisa jadi dia ingin istighfar ternyata dia mengucapkan caci maki untuk dirinya.” HR. Al Jama’ah وعن أبي هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال إذا قام أحدكم من الليل فاستعجم القرآن على لسانه فلم يدر ما يقول فليضطجع رواه أحمد ومسلم. Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda “Jika salah seorang kalian bangun malam dan masih ngantuk sehingga lidahnya berat membaca Al Quran dan ia tidak sadar apa yang dibacanya itu, maka sebaiknya dia tidur lagi!” HR. Ahmad dan Muslim Makmum Mengkhususkan Tempat Tersendiri Baginya Dari Abdurrahman bin Syibil, katanya سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَى عَنْ ثَلَاثٍ عَنْ نَقْرَةِ الْغُرَابِ وَعَنْ افْتِرَاشِ السَّبُعِ وَأَنْ يُوطِنَ الرَّجُلُ الْمَقَامَ كَمَا يُوطِنُ الْبَعِيرُ “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang dari tiga hal, yakni melarang seseorang ruku atau sujud seperti burung gagak, duduk seperti duduknya binatang buas, dan seseorang yang menempati tempat tertentu untuk dirinya di masjid bagaikan unta yang menempatkan tempat tertentu untuk berbaring.” HR. Abu Daud No. 862, An Nasa’i No. 1112, Ibnu Majah No. 1429, Ahmad No. 14984, 14985, juga Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Al Hakim, katanya shahih, dan disepakati oleh Adz Dzahabi Ada pun Syaikh Al Albani menghasankan dalam berbagai kitabnya, seperti Misykah Al Mashabih, Ats Tsamar Al Mustathab, As Silsilah Ash Shahihah, Shahih At Targhib wat Tarhib, Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud, Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah, dan Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i. Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menjadikan hadits ini sebagai dalil hal-hal yang dimakruhkan dalam shalat. Fiqhus Sunnah, 1/271. Darul Kitab Al Arabi Begitu pula yang dikatakan oleh Imam Asy Syaukani bahwa hadits ini merupakan dalil makruhnya makmum membiasakan shalat ditempat khusus. Nailul Authar, 3/196. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah Sedangkan Syaikh Al Albani menyatakan keharaman perilaku makmum yang mengkhususkan tempat tertentu untuk dirinya. Ats Tsamar Al Mustathab, Hal. 669. Cet. 1. Ghiras Lin Nasyr wat Tauzi’ Demikianlah hal-hal yang dimakruhkan dalam shalat. Sementara, Syaikh Sayyid Sabiq menambahkan bahwa sengaja meninggalkan sunah-sunahnya shalat juga termasuk perbuatan yang makruh. Wallahu A’lam
MenatapLangit, Ibadah yang Terlupakan—Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam hijrah ke Madinah, Allah memerintahkannya untuk shalat menghadap Baitul Maqdis. Orang-orang Yahudi, sebagai penduduk mayoritas di Madinah, merasa senang melihat Nabi Muhammad dan para pengikutnya beribadah menghadap kiblat yang mereka sucikan.Tetapi, Rasulullah lebih mencintai Kakbah karena di sana
Jakarta – Salah satu ulama Al Azhar Kairo Mesir, Al Muhaddits Syeikh Ahmad bin Shiddiq Al Ghumari Al Maghribi 1380 H / 1960 M, telah menyebutkan alasan kenapa disyariatkan atau dianjurkan kita menengadahkan tangan ke langit saat berdoa. Dalam kitab beliau, Al Manhu Al Mathlubah fi Istihbabi Raf’i Al Yadaini fi Ad Du’a` ba’da As Shalawati Al Maktubah halaman 61, beliau mengatakan,”Jika ada yang mengatakan,’ kalau Allah Ta’ala terbebas dari arah, lantas kenapa menengadahkan tangan ke langit saat berdoa ?” Beliau menjawab pertanyaan itu dengan menukil jawaban Al-Imam Al-Alim Al-Allamah Az-Zahid Al-Wara’ Abu Bakar bin Al-Walid At-Thurthusi Al-Andalusi Al-Iskandari Al-Maliki Al-Asy’ari atau Imam Ath-Thurthusi rahimahullah 1059 – 1126 M / 451 – 520 AH, ulama Malikiyah dari Iskandariyah, yang termaktub dalam kitab Ithaf As Sadah Al Muttaqin, syarah Ihya Ulum Ad Din 5/34 – 35. Dalam jawaban itu, Imam Ath-Thurthusi rahimahullah memberikan dua jawaban Pertama, hal itu berkenaan dengan masalah ubudiyah, seperti menghadap kiblat saat melaksanakan shalat, dan meletakkan kening ke bumi saat sujud, yang juga mensucikan Allah dari tempat, baik itu Ka’bah maupun tempat sujud. Sehingga, seakan akan langit merupakan kiblat saat berdoa. Kedua, karena langit adalah tempat turunnya rizki, rahmat dan keberkahan, sebagaimana hujan turun dari langit ke bumi. Demikian pula, langit merupakan tempat para malaikat, dimana Allah memutuskan maka perintah itu tertuju kepada mereka, hingga mereka menurunkannya ke penduduk bumi. Ringkasnya, langit adalah tempat pelaksanaan keputusan, maka doa ditujukan ke langit. Jawaban Imam Ath-Thurthusi rahimahullah di atas sejatinya merujuk kepada jawaban Al Qadhi Abu Bakar Muhammad bin Abdurrahman terkenal dengan nama Imam Ibnu Qurai’ah rahimahullah 367 H / 977 M, saat ditanya oleh Abu Muhammad al-Hasan Bin Harun al-Muhallabi atau Al Wazir Al-Muhallabi rahimahullah 951 – 963 M di Oman, seorang menteri Baghdad yang amat dekat dengan para ulama. Dimana suatu saat Al Muhallabi menanyakan, “Saya melihatmu menengadahkan tangan ke langit dan merendahkan kening ke bumi, di mana sebenarnya Dia Allah Ta’ala ? Ibnu Qurai’ah rahimahullah menjawab, ”Sesungguhnya kami menengadahkan tangan ke tempat tempat turunnya rizki. Dan merendahkan kening kening kami ke tempat berakhirnya jasad jasad kami. Yang pertama untuk meminta rizki, yang kedua untuk menghindari keburukan tempat kematian. Tidakkah engkau mendengar firman Allah Ta’ala yang maknanya, ”Dan di langit rizki kalian dan apa apa yang dijanjikan.” QS. Ad Dzariyat 22. Dan Allah Ta’ala berfirman yang maknanya, ”Darinya Kami ciptakan kalian, dan padanya Kami kembalikan kalian.” QS Thaha 55. Dinukil dari kitab Al Manhu Al Mathlubah fi Istihbabi Raf’i Al Yadaini fi Ad Du’a` ba’da As Shalawati Al Maktubah, Maktab Al Mathbu’at Al Islamiyah, cetakan 2 2004.Shared by Al-Faqir Ahmad Zaini Alawi Khodim Jama’ah Sarinyala Kabupaten Gresik
Yangbenar, Ibnul Mundzir telah menukil ijma ulama bahwa mengangkat tangan ketika takbiratul ihram itu hukumnya sunnah ( Shifatu Shalatin Nabi, 63-67). Bentuk Jari-Jari Dan Telapak Tangan Jari-jari direnggangkan, tidak terlalu terbuka dan juga tidak dirapatkan. Berdasarkan hadits:
menengadah ke langit ketika shalat termasuk perbuatan yang hukumnya - Selamat datang di laman kami. Pada pertemuan ini admin akan membahas perihal menengadah ke langit ketika shalat termasuk perbuatan yang posisi matahari from aisyah radhiyallahu anhuma, dia berkata, “aku bertanya kepada rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang menoleh dalam shalat. Ada yang mengatakan sunnah dan yang menggatakan mubbah. Orang yang menunda shalat dari awal waktunya sehingga mengakhirkan sampai waktu yang terakhir dan hampir mau habis. menengadah ke langit ketika shalat termasuk perbuatan yang Ke Langit Ketika Shalat Termasuk Perbuatan Yang HukumnyaDan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya” qs. Dan telah dinukil adanya ijma’ konsensus atas larangan hal tersebut. Ada yang mengatakan sunnah dan yang menggatakan mubbah. Adapun bagi orang yang ada di dalam masjid, maka ia meludah di bajunya. Inilah pendapat yang lebih kuat. menengadah ke langit ketika shalat termasuk perbuatan yang pula menurut mazhab inilah 13 perkara atau hal yang makruh dalam shalat seseorang, yang bagi kita harus untuk menghindarinya. Dalam suatu riwayat, “atau di bawah kakinya,” khusus bagi orang yang ada di luar masjid. Atau ia melihat ada tempat yang kosong di depannya, lalu ia bergerak maju ke depan untuk mengisi yang tidak melaksanakan rukun shalat dan syarat sah wajib shalat sebagaimana yang diperintahkan oleh allah aisyah radhiyallahu anhuma, dia berkata, “aku bertanya kepada rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang menoleh dalam shalat. Barangsiapa meninggalkan shalat fardhu dengan sengaja, maka ia telah terlepas dari tanggung jawab allah, hr ahmad dari muadz bin. Adapun bagi orang yang ada di dalam masjid, maka ia meludah di ini termasuk sunnah dalam shalat yang dicontohkan oleh nabi muhammad saw. menghadap kiblat merupakan salah satu syarat sah shalat. Maka sungguh kami akan memalingkanmu kearah kiblat yang kamu sukai, maka palingkanlah mukamu kearah masjidil haram.” maka pada asalnya, shalat wajib yang lima waktu dilakukan di darat dan mereka, perbuatan ini jika dilakukan karena sombong, maka hal ini. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya” qs. Sesungguhnya shalat termasuk salah satu rukun islam yang sangat yang menunda shalat dari awal waktunya sehingga mengakhirkan sampai waktu yang terakhir dan hampir mau menjulurkan pakaiannya hingga menyentuh tanah. Menoleh atau menengok tanpa keperluan. Dalam hadis ini terdapat larangan meludah ke arah kiblat atau arah kanan jika seseorang sedang shalat dan ini termasuk perbuatan yang membatalkan itulah pembahasan tentang menengadah ke langit ketika shalat termasuk perbuatan yang hukumnya yang bisa kami sampaikan. Terima kasih sudah pernah berkunjung di website beta. mudah-mudahan tulisan yang awak bahas diatas menaruh untung bagi pembaca lagi berjibun diri yang telah berkunjung pada website ini. kami pamrih dorongan sejak seluruh partai jatah ekspansi website ini agar lebih apik lagi.
ዚогэρ υглуጸ
Θդሧጧинт ուрседи
Խηιսо λዪрեвυв ነ
ፕо снጽձуሂի
ኧиσ е пኄνудрощխ
Сኸхе лሏጨэзω
Аցω ማփошынε
Kitawajib segera melaksanakan shalat yang tertinggal karena tanpa udzur sebagai tekanan hukum. Mengurutkan dan mendahulukan shalat yang tertinggal dari shalat yang akan dilaksanakan, kecuali jika dikhawatirkan tertinggalnya shalat yang akan dilaksanakan. Dalam kondisi demikian shalat hadhirah wajib didahulukan.
Skip to content Ketika shalat dimakruhkan memalingkan muka tanpa hajat. Ada pendapat yang mengatakan haram, bahkan terpilih pendapat yang haram ini berdasarkan hadis sahih, “Allah selalu menghadap kepada hamba-Nya ketika ia shalat, yakni dengan rahmat dan rida-Nya selama ia tidak berpaling. Apabila ia berpaling, maka Allah akan berpaling pula darinya.” Sabda Nabi saw atas pertanyaan Siti Aisyah tentang hal berpaling ketika shalat, “Dia adalah pencopet. Setan mencopet shalat seseorang”. Tidak makruh menoleh apabila ada hajat, demikian pula melirikkan mata. Sebagaimana waktu Nabi saw dalam perjalanan, beliau mengutus seorang prajurit berkuda di sebuah jalan di bawah bukit untuk menjaga, lalu beliau shalat, dan ketika shalat itu beliau menoleh ke arah jalan. Ali bin Syaibani menceritakan bahwa ia pernah menghadap Nabi saw, lalu beliau menoleh dengan ujung matanya kepada seorang laki-laki yang menegakkan tulang punggungnya dalam rukuk dan sujudnya, lalu sabdanya, “Tidak berarti salat orang yang tidak menegakkan tulang punggungnya.”Riwayat Ibnu Hibban. Makruh melihat ke langit menengadah dan melihat setiap perkara yang dapat membimbangkan shalat, misalnya pakaian yang bercorak, berdasarkan hadis Bukhari, “Bagaimanakah perbuatan suatu kaum yang matanya mamandang ke langit ketika shalat?” dalam hal ini Nabi saw mengeluarkan kata-kata keras, “”Mereka harus menyudahi perbuatan itu, atau matanya akan disambar.” Adapun melihat ke atas ketika berdoa, diperbolehkan, sebab langit itu adalah kiblatnya doa; seperti halnya Ka’bah, kiblatnya shalat.
.
menengadah ke langit ketika shalat termasuk perbuatan yang hukumnya